peng khianatan habib

Setelah Tgk Chik Di Tiro, Habib
Abdurrahman El Zahir merupakan
orang yang dianggap Belanda paling
berpengaruh dalam perang Aceh. Tapi
politik membeli kebaikan musuh
dengan suapan yang dilakoni
Belanda, menundukkannya. Ia
berkhianat terhadap rakyat Aceh
hanya karena 10.000 US Dolar upeti
dari Belanda.
etika Kerajaan Aceh akan
diserang oleh Belanda, raja Aceh
mengutuskan Habib Abdurrah-
man El Zahir, Menteri Luar
negeri merangkap Mangkubumi,
untuk mencari bantuan ke Turki.
Sekembalinya dari tugas terse-
but, perang dengan Belanda telah berkeca-
muk. Ia pun langsung terjun dalam berbagai
pertempuran. Berbagai penyerangan ter-
hadap Belanda dilakukan.
Pada akhir tahun 1877 dan awal tahun
1878, garis pertahanan Belanda mampu
ditembusnya sampai ke Pante Pirak, yang
terletak di jantung Kota Kutaraja. Karena
keadaan Aceh semakin genting, bulan Mei
1978, di Cot Bada digelar musyawarah antar
pimpinan Aceh, untuk menyusun rencana
KisahKisah KisahKisah Kisah
PP PP Pengkhianatan engkhianatan engkhianatan engkhianatan engkhianatan
HabibHabib HabibHabib Habib
penyerangan terhadap Belanda.
Sebulan kemudian, Juni 1878, Habib
Abdurrahman bersama 2.000 orang pasukan-
nya, menyusup melalui jalan gunung, dan
menduduki Leupeung serta Gle Taron. Di
sanalah bersama pasukan pimpinan Teuku
Nanta, mereka menyerang Belanda hingga
menguasai Lhong. Penyerangan kemudian
diteruskan ke Krueng Raba, Buket Seubuen,
hingga Peukan Bada. Namun tak lama
mereka menguasai tempat-tempat itu, Belan-
da kembali berhasil menghalau mundur
pasukan Habib Abdurrahman.
Ia bersama pasukannya kemudian berger-
ak ke arah timur, serta melakukan kontak
dengan pasukan Pimpinan Tgk Chik Di Tiro
di kawasan Montasik, yang sedang menyiap-
kan penyerangan ke Mukim IV. Namun
rencana itu akhirnya diketahui oleh Belanda.
Belanda pun kemudian menarik pasukan-
nya yang ada di Aceh Utara ke Aceh Besar,
untuk menghadapi pasukan Tgk Chik Ditiro
dan Habib Abdurrahman. Pasukan Belanda
di bawah pimpinan Van der Heijden pun
kemudian melakukan penyisiran ke daerah
Montasik. Setelah melakukan perang sengit,
akhirnya pada 25 Juli 1887, Seuneulhop jatuh
ke tangan Belanda.
Jatuhnya Seuneulhop ke tangan Belanda,
membuat terjadinya perpecahan di kalangan
para tokoh pimpinan pemerintahan Aceh.
Kekalahan itu membuat berbagai isu negatif
diarahkan kepada Habib Abdurrahman. Ia
pun semakin terpojok. Akhirnya ia menilai,
martabatnya di mata rakyat Aceh sudah
jatuh. Maka pada 13 Oktober 1878, ia menyer-
ahkan diri kepada Belanda. Syaratnya, ia
akan menetap di Mekkah dengan menerima
uang tahunan atas tanggungan pemerintah
Kolonial Belanda, senilai 10.000 dollar
Amerika. Sementara Tgk Chik Di Tiro dan
panglima perang Aceh lainnya terus melaku-
kan perlawanan.
Bagi Belanda, menyerahnya Habib
Abdurrahman merupakan sebuah kesuk-
sesan besar. Pada 24 November 1887, Habib
Abdurrahman dikirim ke Jeddah dengan
menumpang kapal Hr Ms Cuaracao. Pasukan
Belanda pun euforia terhadap keberhasilan
tersebut. Malah, Mayor Macleod, seorang
opsir Belanda, memplesetkan lagu “Faldera
dera” yang popular saat itu, untuk menggam-
barkan kesuksesan itu. Bunyinya:
Nun di sana terapung istana samudra
Namanya Cuaracao
Habib yang berani akan dibawa
Ke Mekkah tujuan nyata
Kini ia berdendang riang faldera dera
Untuk gubernemen kita
Banyaknya sekian ribun dolar sebulan
Tidak cerdikkah saya?
Kisah membeli kebaikan musuh dengan
suapan, merupakan upaya yang gencar
dilakukan Belanda menaklukkan para
pemimpin Aceh kala itu. Termasuk menggaji
kaum Ulee Balang sebagai kaki tangannya.
Meski Habib Abdurrahman sudah di
Mekkah, Belanda terus melakukan hubungan
korespondensi dengannya, untuk menge-
tahui seluk beluk dan kelemahan masyarakat
Aceh. Dari Mekkah, pada 3 Muharram 1302
atau Oktober 1884, Habib Abdurrahman
mengirim surat kepada pemerintah Hindia
Belanda di Aceh. Isinya, sebuah usulan
bentuk administrasi pemerintahan Aceh yang
menurutnya akan diterima oleh rakyat Aceh.
Dalam surat itu Habib Abdurrahman
mengusulkan agar Belanda membentuk
administrasi pemerintahan yang baru di
Aceh, yakni mengangkat seorang muslimin
yang mempunyai pemikiran yang cemerlang,
berasal dari keturunan ninggrat dan faham
akan persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan pemerintahan Aceh.
Masih menurut Habib Abdurrahman
dalam surat tadi, orang tersebut harus diberi
gelar raja atau sederajat, sebagai administra-
tor yang bekerja untuk Belanda atas nama
seluruh rakyat Aceh. Orang tersebut juga
harus mampu menjadi penyeimbang antara
hukum agama dengan hukum duniawi. Maka
menurut Habib Abdurrahman, bila orang
seperti itu diangkat sebagai pemimpin rakyat
Aceh, maka rakyat Aceh akan mengikutinya.
Diakhir surat itu, Habib Abdurrahman
membubuhkan tanda tangannya yang
disertai stempel rijksbestuurder dari Pemerin-
tah Aceh.
Namun di sisi lain, meski tinggal di Arab,
Habib Abdurrahman juga terus melakukan
hubungan dengan para pejuang Aceh,
melalui orang-orang Aceh yang melaksana-
kan ibadah haji setiap tahun. Dari sana pula,
ia memompa semangat pejuang Aceh untuk
terus melawan Belanda, meski ia sendiri telah
menyerah dan menerima sejumlah kompen-
sasi ekonomi dari pemerintah Belanda. Dua
sikap yang saling bertentangan, kalau tak
elok disebut sebagai pisau bermata dua.***